Nama : Erwinda Hapsari
Nim : 1101055029
Prodi : Bahasa Indonesia
Kelas : 2 D
RANGKUMAN
BAB III SASTRA PUJANGGA BARU
1.
Latar Belakang
2.
Masa Awal Pujangga Baru
3.
Majalah Pujangga Baru
4.
Pengaruh Angkatan 80
5.
Konsep Seni Pujangga Baru
6.
Polemik Kebudayaan
7.
Beberapa Ciri Sastra Pujangga Baru
8.
Para Sastrawan Pujangga Baru
1.
LATAR
BELAKANG
a.
Pendidikan Belanda
Pendidikan Belanda dimulai pada tahun 1850. Namun
yang memperoleh pendidikan waktu itu hanya golongan bangsawan rendah, yang
biasa disebut kaum priyayi. Kaum priyayi ini memang diperlukan pemerintah
Belanda sebagai alat penghubung dengan rakyat dalam pemerintahannya. Dan inilah
sebabnya para priyayilah yang meengenal sastra modern pada masa embrional. Jadi
setelah tahun 1850 muncullah golongan terpelajar yang berasal dari golongan
priyayi. Tidak mengherankan kalau organisasi pergerakan nasional yang pertama
dibentuk oleh kaum priyayi ini (Budi Utomo).
Dengan adanya Politik Etis pada tahun 1904, maka
pendidikan Belanda meluas di kalangan rakyat biasa. Dua tahun sejak di
umumkannya politik etis ini, berdirilah sekolah-sekolah rakyat yang terdiri
dari dua macam: yakni sekolah Kelas Dua, yang mendidik calon-calon pegawai
rendah, muridnya berasal dari golongan masyarakat biasa. Sekolah Kelas Satu,
muridnya terdiri dari anak-anak golongan masyarakat menengah. Pelajaran yang
diberikan hanyalah membaca, menulis dan berhitung.
Untuk anak-anak golongan menengah atas didirikan
H.I.S. (Hollandsch Indische School) yang sama dengan sekolah dasar sekarang.
Setamat dari H.I.S. murid dapat melanjutkan ke MULO (SMTP), lalu ke AMS (SMA). Anak boleh terus
bersekolah kalau penghasilan dan jabatan orang tuanya memenuhi syarat.
Sejak
tahun 1920 didirikanlah perguruan tinggi teknik hukumdan pertanain, melengkapi
sekolah kedokteran (STOVIA) yang sudah ada di Jakarta sejak permulaan abad 20.
Di
samping itu pihak swasta pribumi juga banyak mendirikan sekolah, seperti Muhamadiyah,
Serikat Islam, Taman Siswa, Perguruan Rakyat, Ksatrian Institut, INS Kayutaman.
Dapat
dikatakan bahwa masa antara tahun 1910–1930 merupakan masa subur dalam
pengajaran. Dengan sendirinya jumlah kaum terpelajar juga semakin banyak di
Indonesia. Hal ini dapat menjelaskan mengapa penerbit Balai Pustaka amat banyak
menerbitkan buku-buku pada masa itu. Pada tahun 1930 dari 60 juta rakyat
Indonesia, jumlah kaum terpelajarnya ada 400.000 orang.
Bahwa
sastra Pujangga Baru keluar dari golongan masyarakat terpelajar golongan atas,
yakni mereka yang mengalami pendidikan setidak-tidaknya MULO atau AMS, bahkan
ada yang perguruan tinggi.
b. Pergerkan
Nasional
Munculnya sastra Pujangga Baru juga tidak dapat
dipisahkan dari berkembangnya gerakan nasional di Indonesia, bahkan banyak para
penulis Pujangga Baru yang aktif dalam gerakan nasional. Seperti Muhamad Yamin,
Amir Hamzah, Sutan Syahrir, Dr.M.Amir dan sebagainya. Pujangga baru adalah
pernyataan nasionalisme dalam bidang kebudayaan dan kesusastraan. Pujangga baru
merupakan bagian dari pergerakan nasional Indonesia.
Gerakan nasional Indonesia muncul pada tahun 1908
dengan berdirinya Budi Utomo yang didirikan kaum terpelajar priyayi. Sejak itu
berdirilah organisasi sosial dan politik yang lain seperti Sarekat Islam,
Indische Partij, PKI dan PNI.
Pada tahun 1921-1926 memerintahlah Gubernur Jendral
Fock yang bersifat otokratis. Ia menindas gerakan-gerakan nasional yang sekitar
tahun 1920 itu sedang berkembang subur. Ia mengakibatkan kaum pergerakan justru
semakin berani, sehingga pada tahun 1922 dan 1923 timbullah aksi-aksi pemogokan
dari pegawai pegadaian dan kereta api. Dan keresahan ini mencapai puncaknya
pada tahun 1926 dengan adanya pemberontakan PKI.
Masa antara tahun 1920-1930 sering disebut sebagai
masa radikal dalam pergerakan nasional. Dan kesusastraan yang lahir dari
golongan atas yang terpelajar ini ikut menyuarakan aspirasinya.
c. Pergerakan
Pemuda
Para
sastrawan Pujangga Baru adalah generasi kedua dalam sastra berbahasa Melayu
Tinggi setelah Balai Pustaka. Mereka dilahirkan sekitar tahun 1908, yakni
sepuluh atau lima belas tahun lebih muda dari kaum Balai Pustaka.
Organisasi
pemuda yang pertama timbul tahun 1917, yakni Tri Koro Darmo anak organisasi
Budi Utomo. Organisasi ini pada tahun 1918 mengubah namanya menjadi Jong Java.
Kemudian bermunculanlah organisai-organisasi pemuda yang lain meniru sifat
kedaerahan seperti Jong Java, yakni Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong
Minahasa, Jong Celebes (Sulawesi) dan Pasundan.
Organisai
–organisasi pemuda ini ada yang menerbitkan bulletin atau majalah, dalam
majalah itu para pemuda yang berbakat menulis karya-karya sastra berbentuk
puisi.
Oleh
pengaruh gerakan politik yang pada tahun-tahun 1920-an sangat memuncak. Maka
para pemuda ini pun juga ikut aktif dalam bidang politik. Rasa persatuan
sebagai satu bangsa akhirnya timbul di kalangan mereka.Mengakibatkan
terbentuknya keseragaman berpikir antara mereka. Hal ini mempercepat proses
persatuan di antara mereka.dari keadaan yang demikian dan pengaruh gerakan
nasional radikal tahun 1920-an, mengakibatkan para pemuda cepat mencapai
kesepakatan bersama untuk membentuk Negara, bangsa dan bahasa yang satu:
Indonesia.
d. Sastra
Elite Nasional
Sastra
Pujangga Baru sama sekali berakar dari budaya yang lain sama sekali dengan
sastra Balai Pustaka. Balai Pustaka adalah abdi pemerintah colonial ditulis
oleh para guru sekolah kelas dua dan untuk konsumsi para pegawai rendahan dan
anak-anak sekolah kelas dua. Sedang sastra Pujangga Baru berasal dari kaum
terpelajar menengah dan atas yang sudah di jiwai oleh semangat nasionalisme.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra kebuayaan baru Indonesia yang sesungguhnya.
Ia tidak berakar dari daerah. Pujangga Baru mengatasi kedaerahan, kesukun,
golongan dan menggunakan bahasa persatuan yang baru: bahasa Indonesia.
Satra
Pujangga Baru adalah induk dari sastra Indonesia modern. Jumlah kaum terpelajar
menengah dan tinggi dengan sendirinya semakin banyak. Dan golongan masyarakat
inilah yang mewarisi dan meneruskan sastra berdasarkan semangat persatuan. Kaum
elite nasioanl adalah orang-orang yang berkemampuan, yang dihormati Karena
keilmuan Baratnya yang dipelajari di sekolah dan perguruan tinggi. Mereka
memimpin bangsanya ke arah budaya modern berdasrkan budaya Barat yang mereka
pelajari. Dan sifat ini terbawa terus oleh kaum penerus sastra Pujangga Baru,
yakni sastra Indonesia seterunya.
2.
MASA
AWAL PUJANGGA BARU
Angkatan
Pujangga Baru resminya baru muncul tahun 1933, tetapi karya-karya yang bercorak
Pujangga Baru dan upaya mendirikan majalah serupa itu telah muncul jauh
sebelumnya, yakni sekitar 1921.
Cinta
tanah air, rasa kebangsaan dan semangat membangun Negara dan bangsa yang baru
yang sangat menonjol sebagi cirri Pujangga Baru. Berkembang bersama giatnya
hidup pergerakan nasional di Indonesia.
Usaha
untuk menerbitkan suatu majalah kesusastraan yang dapat mempersatukan dan
memimpin “para pujangga yang cerai berai” di berbagai majalh itu, sudah dimulai
tahun 1921, tetapi selalu gagal. Tahun
1925 pemuda-pemuda berusaha membentuk majalah sastra tetapi juga tidak
berhasil. Baru pada tahun 1933 atas usaha Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah
dan Armijn Pane, majalah semacam itu dapat diterbitkan dan dinamai Pujangga
Baru.
3. MAJALAH
PUJANGGA BARU
Majalah Pujangga Baru terbit pada bulan
Mei 1933. Tujuan dari majalah ini adalah: pertama, menumbuhkankesusastraan baru
yang sesuai dengan zamannya, kedua, mempersatukan para sastrawan baru dalam
satu wadah, yang sebelum itu bercerai berai.
Pujangga Baru juga mendapat kritik dari
guru-guru bahasa Melayu, karena banyaknya memasukan kata-kata bahasa daerah dan
bahasa asing. Pujangga Baru adalah majalah “pembimbing semangat baru yang
dinamis untuk membentuk kebudayaan baru, kebudayaan persatuan indonesia”.
Majalah Pujangga Baru hidup sampai tahun
1942. Ketika jepang masuk Indonesia, majalah ini dilarang terbit karena
bersifat kebarat-baratan. Jepang yang fasistis itu sangat tidak menyukai segala
yang mengingatkan kebudayaan Barat. Sebenarnya hanya sampai di situ sajalah
usia Pujangga Baru, yakni selama 9 tahun. Zaman Pujangga Baru telah di susul
dengan munculnya sastra angkatan 45.
4. PENGARUH
ANGKATAN 80
a. De
Tachtigrs
Angkatan 80 atau gerakan
delapanpuluh (De Tachtigers) adalah
gerakan kesusastraan di Belanda sekitar
tahun 1880. Gerakan ini ingin memperbaharui sastra Belanda yang pada waktu itu
dikuasai para pendeta. Sastra Belanda pada waktu itu dianggap kolot dan terlalu
lunak. Gerakan pembaharuan ini dipimpin oleh para mahasiswa yang berusia
sekitar 20 tahun.Mereka kemudian mendirikan majalah yang dinamai Pandu Baru.
Sastrawan-sastrawan
Gerakan 80 ini dipengaruhi oleh Romantik Inggris, individualisme Prancis
(Baudelaire) dan naturalisme Prancis. Segera para sastrawan muda ini bentrok
dengan para sastrawan lama. Para sastrawan muda ini mengejek menghantam dan
membuat parodi atas para sastrawan lama. Dan senjata yang paling meyakinkan
adalah karya-karya kreatif mereka sendiri.
b. Pengaruh Gerakan 80
kaum Pujangga Baru adalah
orang-orang yang mengalami pendidikan menengah atas. Pelajaran I
sekolah-sekolah golongan atas itu memakai bahasa Belanda sebagai
pengantar.Dengan demikaian kesusastraan Belanda tidaklah asing bagi murid
sekolah menengah atas seperti HBS, AMS dan HIK. Kaum Pujangga Baru tentu tidak
asing terhadap timbulnya Gerakan 80 ini.Dan dalam beberapa hal memang nampak
persamaan sejarah mereka. Kaum Pujangga Baru menentang sastra lama yang
diwakili orang-orang Balai Pustaka. Kalau Pandu Baru menentang golongan de Gide
yang didirikan oleh kaum sastrawan lama di Belanda, maka Pujangga Baru juga
menentang Balai Pustaka yang kolot dan mengabdi kepada pemerintah dengan setia
pada daerah sendiri.
Pertentangan yang ada dalam
Pandu Baru terjadi juga, dan sama dengan pertentangan dalam Pujangga Baru. Dan
pengaruh inilah yang amat nyata. Meskipun konsep Willem Kloose tidak sepenuhnya
diterima oleh kaum Pujangga Baru.
5. KONSEP SENI
PUJANGAG BARU
Dalam Pujangga Baru terdapat pula pertentangan
dalam konsep seni seperti dalam Gerakan 80 di Belanda. Konsep seni ini menjawab
pertanyaan untuk apa seni diciptakan dan apakah sebenarnya seni itu. Dalam
Pujangga Baru ada dua pendapat yang saling bertentangan, yakni antara “Seni
untuk Masyarakat yang sedang membangun” dan “Seni untuk Seni”. Yang pertama
dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan alam beberapa hal disetujui Armijn
Pane, dan yang kedua dipimppin oleh Sanusi Pane.
Kiranya
konsep seni Armijn Pane merupakan jalan tengah antara pertentanagan Takdir dan
Sanusi Pane. Namun dalam masalah bentuk dan isi seni, Armijn Pane cenderung
kepada pendapat Takdir. Tentang ini Armijn Pane berkata: “Yang lebih penting
kepada kita ialah isi sajak atau karangan. Rupa dan bentuknya hanya penolong
akan menyatakan dan akan menarik perhatian kepada isinya itu”. Pendapat Sanusi
Pane: “Isi tidak bisa dipisahkan dari bentuk, dan bentuk tidak bisa dipisahkan
dari isi. Pada detik mencipta pikiran dan perasaan seniamn dengan sendirinya
mendapat bentuk yang setepat-tepatnya. Jadi: bentuk dan isi bersama-sama lahir
dari jiwa penyair”.